Sad
Darsana (Filsafat Wedanta)
Pengertian
Dan Pokok-Pokok Ajaran Wedanta
Diajukan Untuk Memenuhi Salah
Satu Tugas Pada Matakuliah Hinduisme
Oleh:
Mila
Kamilah
1111032100051
Pendahuluan
Agama Hindu tidak didirikan oleh orang tertentu,
pemikiran, atau inkarnasi tertentu. Dengan demikian, tradisi Agama Hindu
bukanlah bersifat tunggal dan merupakan sistem teori, prinsip, atau praktek
yang sederhana. Hal ini terdiri dari berbagai
pemikiran da pengalaman yang berbeda yang telah terkumpulkan selama lebih dari
ribuan tahun oleh para Rsi dan orang-orang suci.[1]
Filsafat, agama, dan ilmu saling berkaitan. Walaupun
agama berlandaskan kepercayaan, dan filsafat berdasarkan pertimbangan (ratio),
akan tetapi tidak bertentangan, sebab ditinjau dari sudut tujuannya, sama-sama
mencari kebenaran.[2]
Agama Hindu pun tak terlepas dari Filsafat yang dikenal dengan nama Darsana
(Filsafat Hindu).
Gambar: Pembagian Filsafat Hindu
Pengertian Filsafat dan
Wedanta
Pengertian
filsafat berbeda dengan ilmu pengetahuan dan berbeda pula dengan pengertian
agama. Menurut Drs.S.P. Siagian, MPA. dalam bukunya Filsafat Administrasi mengatakan “kata filsafat’ berasal dari bahasa Yunani, dari kata “Philllos”
berarti gemar, senang atau cinta, dan kata “Sophia” artinya kebijaksanaan.
Karena itu filsafat berarti cinta kepada kebijaksanan. Seseorang menjadi
bijaksana karena berusaha mendalami hakikat sesuatu. Dengan demikian filsafat
berarti berusaha mengetahui tentang sesuatu dengan sedalam-dalamnya, baik
mengenai hakekat adanya sesuatu fungsi, ciri-cirinya,kegunaannya, masalahnya
serta pemecahan terhadap masalah-masalah itu.[3]
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh
W.J.S. Poerwadarminta, Falsafat berati pengetahuan dan penyelidikan dengan akal
budi mengenai sebab-sebab, asas-asas hkum, dsb. daripada segala yang ada dalam
alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti “adanya” sesuatu.[4]
Selain
itu Prof.Ir.R. Pudjawijatna, dalam
bukunya Pembimbing ke arah Filsafat, juga menegaskan arti filsafat adalah ilmu yang berusaha
mencari sebab-sebab yang sedalam-dalamnya
bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka. Secara
garis besar perkembangan filsafat di dunia dibagi menjadi 2 kubu, yakni
filsafat yang mengacu ke Timur
(Asia) dan filsafat yang mengacu pada Barat
(Eropa).
Dari
kedua kubu filsafat tersebut, yang pertama berkembang adalah filsafat yang
berasal dari Timur.
Filsafat Timur
sendiri sebenarnya terdiri dari tiga cabang yang didasarkan pada periodeisasi
dan wilayahnya, yaitu filsafat India, filsafat Cina, dan filsafat Arab.
Filsafat India mengarah pada Hinduisme dan Budhaisme, filsafat Cina mengarah kepada
Taoisme dan Konfusianisme,
sedangkan filsafat Arab, tentu saja mengarah kepada Islam. Mengacu pada periodesasi filsafat Timur, filsafat yang berkembang pertama
kalinya adalah aliran filsafat India yang mengarah kepada Hinduisme dan
Budhaisme.
Adapun
Wedanta berasal dari kata “weda” dan “anta”, yang artinya bagian terakhir dari Weda (Uttara Mimamsa) atau selesainya Weda. Nama ini adalah nama yang diberikan pada ajaran Upanisad.
Upanisad sendiri tidak terorganisasi dan filsafat yang sistematis agar dapat
dianalisis dengan lebih mudah.[5] Wedanta
merupakan kesimpulan dan perluasan tafsir Upanisad. Didirikan oleh Badarayana
pada 500 M.[6]
Didalamnya
dibicarakan apa yang disebut “Jnana Marga”, yang artinya “Jalan Ilmu”. Hal itu
menunjukkan bahwa Wedanta itu adalah suatu jalan kelepasan dengan mempergunakan
ilmu (pengetahuan).[7]
Kitab
Upanisad juga disebut
dengan Wedanta, karena kitab-kitab ini mewujudkan bagian akhir dari Weda yang
bersifat menyimpulkan. Upanishad juga yang sudah dikenal sebagai Wedanta, sudah
ribuan tahun menjadi sumber inspirasi filsafat religius umat Hindiu. Kata
Upanishad memiliki arti duduk dekat guru atau mendekatkan diri kepada Tuhan.
Upanishad merupakan ajaran rahasia dari Weda yang oleh para guru dinamakan
dengan istilah Wedopanisad. Jumlah kitab Upanishad adalah 108 buah.
Walaupun
hanya diterima sebagai “sruti”, yaitu sebagai bagian dari pewahyuan Weda,
status Upanishad bukan menyampaikan kearifan manusia, namun menyediakan
kebenaran yang membebaskan.[8]
Ada tiga faktor yang meyebabkan Upanishad disebut dengan Wedanta, yaitu:
1. Upanishad
adalah hasil karya terakhir dari zaman Weda.
2. Pada
zaman Weda program pelajaran yang disampaikan oleh para Resi kepada sisyanya,
Upanishad juga merupakan pelajaran terakhir. Para Brahmacari pada mulanya
diberikan peajaran Shamhita yakni koleksi syair-syair dari zaman Weda. Kemudian
dilanjutkan dengan pelajaran Brahmana yaitu tata cara untuk melaksanakan
upacara keagamaan
3. Upanishad
merupakan kumpulan syair-syair yang terakhir daripada zaman Weda. Oleh karena
itu Upanishad adalah inti dari Weda atau Wedanta.[9]
Ada
yang menyebutkan bahwa sebutan Wedanta itu diartikan sebagai suatu sistem
filsafat yang ajarannya didasarkan pada kitab Upanishad. Karena banyaknya kitab
Upanishad dan untuk memudahkan sistem pengajarannya, maka Badarayana mencoba
menyusun secara sistematis pengajaran Upanishad dalam sebuah Sutra yang
dinamakan Wedanta Sutra. Kitab ini terbagi atas empat bab yang setiap
babnya memuat hal – hal sebagai berikut :
1. Menyatakan
bahwa Brahman adalah realitas yang tertinggi dan semua ayat Weda mengandung
Brahman di dalamya.
2. Menyatakan
bahwa semua ajaran yang tidak sesuai dengan Weda tidak akan dapat
dipertahankan.
3. Membicarakan
syarat – syarat untuk menyatukan diri dengan Brahman.
4. Membicarakan
pahala dari seseorang yang telah mendapatkan pengetahuan tentang Brahman atau
Brahma Widhya.
Kitab
Brahma Sutra (Wedanta Sutra), Upanisad dan Bhagawadgita, ketiga
kitab tersebut menjadi dasar filsafat Wedanta.
A. Pokok-pokok
Ajaran Wedanta
Ajaran
Vedanta, sering juga disebut dengan Uttara Mimamsa yaitu penyelidikan yang
kedua, karena ajaran ini mengkaji bagian Weda, yaitu Upanishad. Kata Vedanta
berakar kata dari Vedasya dan Antah yang berarti akhir dari Weda. Sumber ajaran
ini adalah kitab Vedantasutra atau dikenal juga dengan nama Brahmasutra (Aphorisme yang berhubungan degan Brahman). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pelopor
ajaran ini adalah Maharsi Vyasa, atau dikenal juga dengan nama Badarayana atau
Krishna Dwipayana.[10]
Brahma Sutra terdiri dari 550 aphorisme dan ringkasan
dari filsafat dasar dari Upanishad dalam empat treatise (Adhyaya). Dengan
adanya pandangan dari para cendikiawan, dalam Brahma Sutra merefleksikan
filsafat Chandogya Upanisad lebih dari Upanisad yang lain. Aphorisme dalam
Brahma Sutra sangatlah pendek dan beberapa diantaranya hanya terdiri dari satu
atau dua kata. Aphorisme ini tidak dapat diketahui artinya tanpa pembahasan.
Komentar tradisional yang mengandung dasar dari berbagai sistem filsafat, yang
beberapa diantaranya memberikan interpretasi diametris yang berlawanan dari
sutra kecil yang sama.[11]
Ada
tiga sekolah utama filsafat Wedanta yang berbeda satu sama lain dalam cara
memandang hubungan antar pribadi, hal-hal dan realitas tertinggi (Brahman). Untuk lebih jelasnya kita lihat gambar dan keterangan
dibawah ini:
Untuk memenuhi sebagai pendiri aliran Vedanta dengan
julukan “master” (acarya), seorang pemimpin religius harus menulis komentar
terhadap teks-teks utama Upanisad,
Bhagavad-ghita, dan Vedanta Sutra.[12]Seperti
yang telah disebutkan diatas, ada 3 sekolah utama filsafat Wedanta yang
masing-masingnya memiliki tokoh dan pendapat yang berbeda. Perbedaan dasar dari
sistem ini adalah kepercayaan mereka untuk pertain
dengan hubungan inter antara Brahman, dunia, dan atman.
Adwaita
Wedanta
Pemikiran Adwaita didasarkan pada interpretasi Wedanta
yang dibuat oleh Adi Sankaracarya seorang Rsi dan juga seorang cendekiawan terkemuka,
yang sering disebut dengan seorang ahli metafisika Hindu yang jenius. Beliau
hidup kira-kira 788-820 SM yang terlahir dalam keluarga Brahmana di kota
Coshin, India Selatan. Saat ia berumur delaan tahun, ia sudah menguasai semua
kitab Hindu. Ia menjadi seorang yang religius, guru spiritual juga pereformasi
dan pendiri dari empat Monasteri di India, diantaranya di Badrinatha di
Himalaya, di Dwarika di Pantai Barat,di Puri di Pantai Timur, dan yang terakhir
di Sringeri di daerah Mysore. Biara ini sangat terkenal dan merupakan pusat
pembelajaran dan tempat suci di India.[13]
Adwaita adalah sistem nondualistis. Menurut Sankara, Atman sama dengan
Brahman, yakni esensi subjektivitas yang bersatu dengan esensi dunia. Dunia
seluruhnya tergantung pada Brahman, tetapi Brahman tidak tergantung pada dunia.
Brahman adalah dasar seluruh pengalaman, ia tidak sama dengan dunia, tidak
berbeda dengan dunia, tidak empiris, tidak objektif, bukan tidak ada, sangat
berbeda dari yang lain. Moksa atau pembebasan diri dicapai dengan praktek devosi dan mewudjudkan nilai-nilai etis.
Ini dicapai selama orang hidup.[14]
Menurut Adwaita Wedanta, semua makhluk baik yang hidup
maupun yang tidak hidup tiada lain adalah Brahman. Brahman adalah kenyataan
mutlak dan tidak ada kenyataan yan lain selain Brahman. Dalam kata-katanya
Sankaracarya mengatakan:
“Brahman
satyam jagan mithya, jivo Brahmaiva naparah”
“Brahman sendiri adalah kebenaran, dalam dunia yang tidak
nyata ini. Atman (Jiwa individu) adalah hanya Brahman dan bukan yang lain”.[15]
Wishistadwaita
Ramanujacarya (1055-1137) adalah tokoh utama yang menguraikan
pemikiran filsafat Wedanta. Ia terlahir dari keluarga Brahmana di Bhutapuri di
India Selatan. Ia adalah orang suci dan seorang cendekiawan dan mengajarkan
pencerahan suci di Srirangam dekat dengan Tiruchirappali saat ini.[16]
Wishistadwaita menekankan
perbedaan dalam non dualisme Sankara. Dunia Diri, Brahman itu riil, tapi dunia
dan diri tergantung pada Brahman. Diri memiliki eksistensi abadi, dunia atau materi diri dan Brahman
membentuk satu kesatuan, tetapi diri dan dunia hanya sebagai tubuh Brahman.
Diluar Brahman tidak ada apa-apa. Itu sebabnya Ramanuja disebut nondualisme
dengan perbedaan yakni Brahman memiliki dua bentuk, diri dan materi.setinggi
apapun manusia
merealisasikan diri, Brahman masih lebih tinggi. Manusia harus selalu
menghormati Brahman, itulah sebabnya Ramanuja menekankan
aspek kebaktian pada Brahman.[17]
Jadi, pandangan Ramanuja ialah bahwa Brahman adalah
kesatuan organis yang dibentuk oleh identitas (jati diri) yang terdiri dari
bagian-bagian. Ia bukan sesuatu yang abstrak tetapi konkrit dengan dibentuk
oleh objek-objek yang bermacam-macam dari kesadaran dan serempak juga kesadaran
itu sendiri. Kesatuan organis inilah yang disebut Ramanuja Brahman, atau Dewa
(Ishvara).[18]
Dwaita
Pemikiran dari filsafat ini dikembangkan oleh Madhvacarya (1199-1278) SM, yang lahir di Udipi dekat dengan Managlore di pantai Barat India. Ia adalah
vaisnava (pemuja Dewa Wisnu) seorang
yang suci dan pereformasi keagamaan. Ia mengembangkan sistem filsafat yang
mengkombinasikan dualisme dengan theisme da dikenal dengan nama Dwaita, “filsafat dari keduanya”.[19]
Menurut Madhva, pokok-pokok ajaran filsafatnya adalah
perbedaan (beda). Sistem ini disebut juga realistis karena mengakui bahwa dunia
ini adalah nyata bukan maya. Akhirnya sistem ini juga bersifat theistis, karena
menerima adanya Tuhan yang pribadi sebagai satu-satunya kenyataan yang berdiri
sendiri (swatantra) dengan kata lain Madhva mengakui/percaya dengan adanya
manifestasi dari Tuhan yang beraneka ragam. Dasar ajaran Madhva adalah mengakui
adanya kenyataan yang beraneka ragam di dunia ini, semuanya mempunyai ciri dan
sifat tersendiri, sehingga menimbulkan perbedaan-perbedaan. Menurutnya, di
dunia ini ada lima macam perbedaan-perbedaan, yaitu:
Ø
Perbedaan
antara Tuhan dengan jwa,
Ø
Perbedaan
antara jiwa dengan jiwa yang lainnya,
Ø
Perbedaan
antara Tuhan dengan benda,
Ø
Perbedaan
antara jiwa dengan benda,
Ø
Perbedaan
antara benda yang satu dengan benda yang lainnya.
Semua itu berbeda secara mutlak, sekalipun perbedaan itu
tidak berarti bahwa semuanya tidak saling bergantungan.[20]
Penemuan
besar pada masa
Upanishad adalah apa yang biasa disebut sebagai sintesis sebagai Atman-Brahman,
yakni identifikasi jiwa individual
(Atman) dengan dasar semesta alam (Brahman).
Daftar
Pustaka
Pandit, Bansi, Pemikiran
Hindu, Denpasar: Paramita, 2006.
Swabodhi, D.D. Harsa,
Analogi Falsafat Budha Dharma & Hindu Dharma, Medan: Yayasan Perguruan
Budaya, 1980.
Drs.S.P Siagian, MPA, Filsafat Administrasi, 1980.
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976.
El. Marzdedeq,
A.D, Parasit Akidah, Bandung: Arkan,
2008.
Honig Jr, AG, Ilmu
Agama, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulya, 1997.
Ali,
Matius,
Filsafat
India Sebuah Pengantar Hinduisme & Budhisme, Jakarta: SANGGAR LUXOR, 2010.
Rudia, I Gede, dkk, Tattwa Darsana,
Jakarta: YAYASAN DHARMA SARATHI, 1990.
http://id.wikipedia.org/wiki/adwaita
wedanta, di unduh pada 23
Oktober 2012
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/pengantar_filsafat/Bab_2.pdf, di unduh pada 23 Oktober 2012
M. Koller, John, Filsafat
Asia, Flores: Penerbit LEDALERO, 2010
[2]. D.D. Harsa Swabodhi, Analogi Falsafat Budha Dharma & Hindu Dharma, (Medan: Yayasan
Perguruan Budaya, 1980), h.8
[5].
Bansi Pandit, Pemikiran Hindu,
(Denpasar: Paramita, 2006), h. 63
[6]. A.D. El. Marzdedeq, Parasit Akidah, (Bandung: Arkan, 2008), h. 68
[7]. AG. Honig Jr, Ilmu Agama, (Jakarta: PT.
BPK Gunung Mulya, 1997), h.125
[8]. Matius Ali, Filsafat India
Sebuah Pengantar Hinduisme & Budhisme, (Jakarta: SANGGAR LUXOR, 2010), h. 99
[10].http://id.wikipedia.org/wiki/adwaita
wedanta, di unduh pada 23 Oktober
2012
[11]. Bansi
Pandit, Pemikiran Hindu, (Denpasar:
Paramita, 2006), h. 63
[12].
Matius Ali, Filsafat India, (Jakarta:
SANGGAR LUXOR, 2010), h.105
[14].http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/pengantar_filsafat/Bab_2.pdf, di unduh pada 23 Oktober 2012
[15]. Ibid, h.65
[16]. Ibid, h.66
[17]. http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/pengantar_filsafat/Bab_2.pdf, di unduh pada 23 Oktober 2012
[18]. John. M. Koller, Filsafat Asia, (Flores:
Penerbit LEDALERO, 2010), h.176
Tidak ada komentar:
Posting Komentar